Beranda | Artikel
Keutamaan Shalat Sunnah Rawatib
Rabu, 27 Februari 2013

KEUTAMAAN SHALAT SUNNAH RAWATIB

Oleh
Ustadz Abdullah Taslim al-Buthoni  Lc, MA

عَنْ أُمِّ حَبِيبَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا قَالَتْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يُصَلِّي لِلَّهِ كُلَّ يَوْمٍ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً تَطَوُّعًا غَيْرَ فَرِيضَةٍ إِلاَّ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ أَوْ إِلاَّ بُنِيَ لَهُ بَيْتٌ فِي الْجَنَّةِ قَالَتْ أَمُّ حَبِيبَةَ فَمَا بَرِحْتُ أُصَلِّيهِنَّ بَعْدُ

Dari Ummu Habîbah Radhihyallahu anha, istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah seorang hamba yang Muslim melakukan shalat sunnat karena Allah, (sebanyak) dua belas raka`at dalam setiap hari, kecuali Allah Azza wa Jalla akan membangunkan baginya sebuah rumah (istana) di surga”. (Kemudian) Ummu Habîbah Radhiyallahu anha berkata: “Setelah aku mendengar hadits ini aku tidak pernah meninggalkan shalat-shalat tersebut”.[1]

Hadits yang agung ini menunjukkan keutamaan shalat sunnah rawatib, sehingga Imam an-Nawâwi rahimahullah mencantumkan hadits ini sebagai hadits yang pertama dalam bab keutamaan shalat sunnat rawatib (yang dikerjakan) bersama shalat wajib (yang lima waktu), dalam kitab beliau “Riyâdhus Shâlihîn[2].

Mutiara hikmah yang dapat kita petik dari hadits ini adalah:

  1. Shalat sunnat rawatib adalah shalat sunnat yang dikerjakan sebelum dan sesudah shalat wajib lima waktu.[3]
  2. Dalam riwayat dari ‘Aisyah Radhiyallahu anha, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dan memerinci sendiri makna “dua belas rakaat” yang disebutkan dalam hadits di atas [4], yaitu: empat rakaat sebelum shalat Zhuhur dan dua rakaat sesudahnya, dua rakaat sesudah Maghrib, dua rakaat sesudah Isya’ dan dua rakaat sebelum Subuh.[5] Adapun riwayat yang menyebutkan: “…Dua rakaat sebelum shalat Ashar”, ini adalah riwayat yang lemah [6] karena menyelisihi riwayat yang lebih kuat yang kami sebutkan sebelumnya.[7]
  3. Keutamaan yang disebutkan dalam hadits di atas adalah bagi orang yang menjaga shalat-shalat sunnat rawatib dengan melaksanakannya secara kontinyu, sebagaimana yang dipahami dan dikerjakan oleh Ummu Habîbah Radhiyallahu anha, perawi hadits di atas. Demikian yang diterangkan oleh para Ulama.[8]
  4. Jika seseorang tidak bisa melakukan shalat sunnat rawatib pada waktunya karena ada udzur (sempitnya waktu, sakit, lupa dan lain-lain) maka dia boleh mengqadhâ` (menggantinya) di waktu lain.[9] Ini ditunjukkan dalam banyak hadits shahîh.[10]
  5. Dalam hadits ini terdapat perintah untuk selalu mengikhlaskan amal ibadah kepada Allah Azza wa Jalla semata-mata.
  6. Hadits ini juga menunjukkan keutamaan amal ibadah yang dikerjakan secara kontinyu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Amal (ibadah) yang paling dicintai Allah k adalah amal yang paling kontinyu dikerjakan meskipun sedikit” [11]
  7. Semangat dan kesungguhan para Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam memahami dan mengamalkan petunjuk dan sunnat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Inilah yang menjadikan mereka lebih utama dalam agama dibandingkan generasi yang datang setelah mereka. Wallahu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XIII/1431/2010M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
______
Footnote
[1] HSR Muslim (no. 728).
[2] Riyâdhus Shâlihîn (bab no. 195, hal. 1409).
[3] Lihat keterangan Imam an-Nawâwi dalam “Shahîh Muslim” (1/502).
[4] Lihat keterangan Syaikh al-‘Utsaimîn dalam “Syarh Riyâdhish Shâlihîn” (3/282).
[5] HR an-Nasâ-i (3/261), at-Tirmidzi (2/273) dan Ibnu Mâjah (1/361). Lihat Shahîh Sunan Ibnu Mâjah (no. 935).
[6] Dinyatakan lemah oleh Syaikh al-Albâni dalam “Dha’îful Jâmi’ish Shagîr” (no. 5672).
[7] Lihat kitab “Bughyatul Mutathawwi’” (hal. 22).
[8] Lihat misalnya kitab “Faidhul Qadîr” (6/166).
[9] Demikian keterangan yang kami dengar langsung dari guru kami yang mulia, Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbâd.
[10] Lihat kitab “Bughyatul Mutathawwi’” (hal. 29, 33-34).
[11] HSR al-Bukhâri (no. 6099) dan Muslim (no. 783).


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3535-hakekat-iman-dan-tanda-tandanya.html